More than the words, n find more a sense from the masterpiece. cos it's trully deeply the art from heart.

Jumat, 03 Januari 2014

The Everlasting Woman


 Tribute to My Mother Who always has a different way of loving me

Baginya kebijakan adalah hal yang asing, bukanlah pemberi keadilan tetapi memberi cara untuk bertahan hidup. Mengajari sesuatu begitu keras bahkan untuk jiwa pemberontak sekalipun. Hatiku begitu lama terkurung oleh dogma dan hal-hal fundamental yang diberi olehnya. Ada batasan dimana diriku tidak bisa melakukan hal-hal yang ingin kulakukan hanya karena aku bukanlah saudara-saudaraku

Aku akan berpikir dan mungkin masih berpikir kalau kasih sayang yang dia beri tidaklah seperti yang kuharapkan. Sesuatu yang menyenangkan bagiku adalah yang tidak masuk akal baginya. Aku selalu minta disetarakan tetapi baginya wanita punya cara lain untuk menjalani hidup. Mungkin dia berpikir aku terlalu keras entah itu karena tempaan masa lalu atau karena keegoisanku aku juga tidak mengerti.

Kami adalah dua wanita yang selalu berkonfrontasi, punya cara masing-masing dalam menjalani hidup dan cara itu tidak pernah sekalipun mempunyai titik temu. Aku tau dia ingin seorang anak perempuan seperti tetangga sebelah bisa diajak bercerita tentang baju apa yang cantik dipakai untuk kepesta. Atau dia ingin aku selalu bertanya padanya apakah sepatu yang kupakai sudah cocok dengan baju yang kukenakan? Tetapi yang dia dapat adalah anak perempuan yang bahkan tidak peduli dia sedang memakai celana yang setengah sobek sekalipun.  Aku bahkan tidak peduli dengan apa yang dibicarakan oleh orang-orang sekelilingku, mereka sebut aku gila maka gilalah aku. Tetapi dia selalu khawatir tentang apa yang mereka katakan tentangku.

Aku adalah wanita dan kuakui itu, walaupun tidak seperti yang dia inginkan tetapi aku punya mimpi melebihi seorang wanita yang selalu dia pikirkan. Tetapi  terkadang hal-hal yang menurutnya prinsipil itu adalah hal-hal yang omongkosong bagiku namun tetap kulakukan karena ada harga yang harus kuberikan padanya. Jadilah aku yang terbelah dua antara diriku yang sebenarnya dan diriku yang dia inginkan. Jadilah aku seorang pemimpi sejati hanya untuk melihat sebuah wajah yang akan selalu tersenyum saat memandangku dan dia bisa mengadalkan aku kapanpun dia mau. Karena semakin lama semakin aku sadar tidak mengapa semua mimpi itu terbuang demi sebuah abdiku padanya.

Pernah sekali aku ingin berontak, menghancurkan semuanya masa depan yang sudah tertata rapi, aku tidak ingin menjadi seseorang yang dapat dibanggakan. Aku hanya ingin mencapai kepuasan tertinggi dimana aku bisa merealisasikan semua imajinasi-imajinasi liarku, tanpa rumah, tanpa cinta, tanpa uang murni hanya sebuah kebebasan berekplorasi terhadap diri sendiri demi mencari makna yang paling diingini oleh hati.  Aku berpikir tidakkah dia mau tau kalau aku ingin menjadi seseorang yang benar-benar aku, jangan pedulikan apa kata mereka karena aku tidak ingin hidup hanya untuk memperjuangkan harga diri atau lepas dari penderitaan semata. Aku tidak ingin hidup hanya untuk materi atau masa depan dimana semua orang akan terkesima melihatnya. Tetapi bukankah itu yang membuat dia bangga?

Lalu aku melihat tetesan keringat yang berjatuhan di tempa sang matahari, bukankah kami hidup sudah begitu keras? Aku bertanya dalam hati. Aku lalu melihat airmata lukanya saat semua orang mencemooh dan meragukan kami. Aku ingin tampar wajah mereka semua, begitu congkak sampai tidak ada ruang untuk belaskasihan. Aku bersumpah  demi apapun itu kalau suatu saat mereka akan melihat hal-hal yang mereka cemooh itu tidaklah pantas. Aku akan mencapai titik dimana orang tidak akan memandang remeh lagi, buang dulu semua mimpi itu demi untuk menjaga agar airmata itu tidak akan pernah keluar lagi. Itulah arti dirinya bagiku.

Walaupun dia tidak sebijak seseorang yang aku sebut lebih menyayangiku dari siapapun didunia ini, tapi dia adalah wanita yang paling tangguh dari siapapun di dunia ini. Dia orang yang paling menyayangiku  tidaklah sekuat itu saat dia mencoba untuk menyerah dan meninggalkan kami dengan airmata luka yang menghiasi hatinya. Aku masih ingat ketika kami bertiga berbicara dari hati ke hati di sebuah ruangan sempit rumah sakit, dimana seorang bijak itu sudah melupakan idealismenya demi untuk sebuah rasa sakit hati pada congkaknya hidup ini kepada kami. Dan mulai saat itu aku bahkan sudah menutup pintu hatiku untuk sebuah hidup yang lebih layak yang dia inginkan dariku.

Aku akan terus hidup seperti ini hanya untuk melihat dia bahagia dan berani berkata kepada orang lain kalau dia punya seseorang yang bisa diandalkan, kita akan menjadi kekuatan satu sama lain. Dua wanita yang selalu berkonfrontasi saling mengisi kehidupan masing-masing. Saat aku mulai lemah dan benar-benar ingin bermimpi maka aku akan datang kepangkuannya kemudian mendegarkan cerita tentang kerasnya hidup menempa kami dan bagaimana kami bisa kehilangan  seseorang yang paling bijak dalam hidup kami. Dan itu akan membuat aku bertahan hidup lagi

Bahkan semakin lama semakin aku menyadari, ketika semua keterbatasan adalah lawan terbesarmu kenapa kau tidak mengalah saja pada keterbatasan itu. Aku bukanlah seorang yang pesimis akan hidup tetapi aku hanya sedang belajar untuk lebih realistis dan pragmatis dalam memandang hidup. Perlahan-lahan kebutuhan akan memudarkan nilai-nilai dari idealisme yang ada pada diriku. Tidak mengapa rasa sayang yang kudapat tidak sebanyak mereka, itu adalah caranya mengajarkan aku kemandirian. Tidak mengapa dogma demi dogma kudapatkan, itu semua akan mengantarkan aku kepada sebuah pemikiran yang dapat berargumen dengan lugas. Tidak mengapa konfrontasi demi konfrontasi dan perseturuan mengenai ketidakadilan genderisasi kudapatkan, karena itu adalah cara dia membuat aku menjadi sempurna.  Tidak ada yang kekal didalam kehidupanku melainkan sebuah senyum yang selalu ingin kulihat dari wajahnya. Karena bagiku dia adalah “Everlasting Woman”. 

1 komentar: