Tribute to My Mother Who always has a
different way of loving me
Baginya kebijakan adalah hal yang asing, bukanlah pemberi keadilan
tetapi memberi cara untuk bertahan hidup. Mengajari sesuatu begitu keras bahkan
untuk jiwa pemberontak sekalipun. Hatiku begitu lama terkurung oleh dogma dan
hal-hal fundamental yang diberi olehnya. Ada batasan dimana diriku tidak bisa
melakukan hal-hal yang ingin kulakukan hanya karena aku bukanlah
saudara-saudaraku
Aku akan berpikir dan mungkin masih berpikir kalau kasih sayang
yang dia beri tidaklah seperti yang kuharapkan. Sesuatu yang menyenangkan
bagiku adalah yang tidak masuk akal baginya. Aku selalu minta disetarakan
tetapi baginya wanita punya cara lain untuk menjalani hidup. Mungkin dia
berpikir aku terlalu keras entah itu karena tempaan masa lalu atau karena
keegoisanku aku juga tidak mengerti.
Kami adalah dua wanita yang selalu berkonfrontasi, punya cara
masing-masing dalam menjalani hidup dan cara itu tidak pernah sekalipun
mempunyai titik temu. Aku tau dia ingin seorang anak perempuan seperti tetangga
sebelah bisa diajak bercerita tentang baju apa yang cantik dipakai untuk
kepesta. Atau dia ingin aku selalu bertanya padanya apakah sepatu yang kupakai
sudah cocok dengan baju yang kukenakan? Tetapi yang dia dapat adalah anak
perempuan yang bahkan tidak peduli dia sedang memakai celana yang setengah
sobek sekalipun. Aku bahkan tidak peduli
dengan apa yang dibicarakan oleh orang-orang sekelilingku, mereka sebut aku
gila maka gilalah aku. Tetapi dia selalu khawatir tentang apa yang mereka katakan
tentangku.
Aku adalah wanita dan kuakui itu, walaupun tidak seperti yang dia
inginkan tetapi aku punya mimpi melebihi seorang wanita yang selalu dia
pikirkan. Tetapi terkadang hal-hal yang
menurutnya prinsipil itu adalah hal-hal yang omongkosong bagiku namun tetap
kulakukan karena ada harga yang harus kuberikan padanya. Jadilah aku yang
terbelah dua antara diriku yang sebenarnya dan diriku yang dia inginkan.
Jadilah aku seorang pemimpi sejati hanya untuk melihat sebuah wajah yang akan
selalu tersenyum saat memandangku dan dia bisa mengadalkan aku kapanpun dia
mau. Karena semakin lama semakin aku sadar tidak mengapa semua mimpi itu
terbuang demi sebuah abdiku padanya.
Pernah sekali aku ingin berontak, menghancurkan semuanya masa depan
yang sudah tertata rapi, aku tidak ingin menjadi seseorang yang dapat
dibanggakan. Aku hanya ingin mencapai kepuasan tertinggi dimana aku bisa
merealisasikan semua imajinasi-imajinasi liarku, tanpa rumah, tanpa cinta,
tanpa uang murni hanya sebuah kebebasan berekplorasi terhadap diri sendiri demi
mencari makna yang paling diingini oleh hati.
Aku berpikir tidakkah dia mau tau kalau aku ingin menjadi seseorang yang
benar-benar aku, jangan pedulikan apa kata mereka karena aku tidak ingin hidup
hanya untuk memperjuangkan harga diri atau lepas dari penderitaan semata. Aku
tidak ingin hidup hanya untuk materi atau masa depan dimana semua orang akan
terkesima melihatnya. Tetapi bukankah itu yang membuat dia bangga?
Lalu aku melihat tetesan keringat yang berjatuhan di tempa sang
matahari, bukankah kami hidup sudah begitu keras? Aku bertanya dalam hati. Aku
lalu melihat airmata lukanya saat semua orang mencemooh dan meragukan kami. Aku
ingin tampar wajah mereka semua, begitu congkak sampai tidak ada ruang untuk
belaskasihan. Aku bersumpah demi apapun
itu kalau suatu saat mereka akan melihat hal-hal yang mereka cemooh itu
tidaklah pantas. Aku akan mencapai titik dimana orang tidak akan memandang
remeh lagi, buang dulu semua mimpi itu demi untuk menjaga agar airmata itu
tidak akan pernah keluar lagi. Itulah arti dirinya bagiku.
Walaupun dia tidak sebijak seseorang yang aku sebut lebih
menyayangiku dari siapapun didunia ini, tapi dia adalah wanita yang paling
tangguh dari siapapun di dunia ini. Dia orang yang paling menyayangiku tidaklah sekuat itu saat dia mencoba untuk
menyerah dan meninggalkan kami dengan airmata luka yang menghiasi hatinya. Aku
masih ingat ketika kami bertiga berbicara dari hati ke hati di sebuah ruangan
sempit rumah sakit, dimana seorang bijak itu sudah melupakan idealismenya demi
untuk sebuah rasa sakit hati pada congkaknya hidup ini kepada kami. Dan mulai
saat itu aku bahkan sudah menutup pintu hatiku untuk sebuah hidup yang lebih
layak yang dia inginkan dariku.
Aku akan terus hidup seperti ini hanya untuk melihat dia bahagia
dan berani berkata kepada orang lain kalau dia punya seseorang yang bisa
diandalkan, kita akan menjadi kekuatan satu sama lain. Dua wanita yang selalu
berkonfrontasi saling mengisi kehidupan masing-masing. Saat aku mulai lemah dan
benar-benar ingin bermimpi maka aku akan datang kepangkuannya kemudian
mendegarkan cerita tentang kerasnya hidup menempa kami dan bagaimana kami bisa
kehilangan seseorang yang paling bijak
dalam hidup kami. Dan itu akan membuat aku bertahan hidup lagi
Bahkan semakin lama semakin aku menyadari, ketika semua
keterbatasan adalah lawan terbesarmu kenapa kau tidak mengalah saja pada
keterbatasan itu. Aku bukanlah seorang yang pesimis akan hidup tetapi aku hanya
sedang belajar untuk lebih realistis dan pragmatis dalam memandang hidup.
Perlahan-lahan kebutuhan akan memudarkan nilai-nilai dari idealisme yang ada
pada diriku. Tidak mengapa rasa sayang yang kudapat tidak sebanyak mereka, itu
adalah caranya mengajarkan aku kemandirian. Tidak mengapa dogma demi dogma
kudapatkan, itu semua akan mengantarkan aku kepada sebuah pemikiran yang dapat
berargumen dengan lugas. Tidak mengapa konfrontasi demi konfrontasi dan
perseturuan mengenai ketidakadilan genderisasi kudapatkan, karena itu adalah
cara dia membuat aku menjadi sempurna. Tidak
ada yang kekal didalam kehidupanku melainkan sebuah senyum yang selalu ingin
kulihat dari wajahnya. Karena bagiku dia adalah “Everlasting Woman”.
Nice Article Ran..!
BalasHapusKerren..